Istilah-istilah dalam Perbankan Syariah

Kenapa sih produk-produk di bank syariah harus pake bahasa Arab? Apa biar keliatan Islamnya? Kan belum tentu juga setiap yang berbahasa Arab itu Islami! Sebenarnya kalangan "petinggi2" bank syariah juga pernah membahas ini, penggunaan bahasa Arab dianggap dapat menyulitkan penetrasi pasar karena sebagian besar isi pasar tidak mengerti bahasa Arab. Permasalahannya, mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk istilah2 muamalah seperti itu tidak mudah, seperti tidak mudahnya mengganti istilah2 ibadah kedalam bahasa Indonesia murni: zakat=potongan harta?, haji=perjalanan spiritual?, solat=berdoa?, waah.. tidak ketemu dengan makna sebenarnya kan ya. Jadi, jika ingin sedikit mengerti tentang bank syariah kita harus tau juga makna di balik istilah2 muamalah tersebut.
Penjelasan di bawah ini diambil dari makalah zaman kuliah S1 dulu (2008-2009), isinya rangkuman dari buku2 referensi akademisi ekonomi syariah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar perbankan syariah, dilengkapi contoh produk yang ada saat itu untuk memperjelas pengertiannya.

A. Titipan atau Simpanan (al-Wadi’ah)
A.1. Wadi’ah yad al-amanah (tangan amanah)
A.2. Wadi’ah yad ad-dhamanah (tangan penanggung)

B. Bagi Hasil
B.1. Al-Musyarakah
B.2. Al-Mudharabah
B.3. Al-Muzara’ah
B.4. Al-Musaqah

C. Jual Beli
C.1. Bai’ al-Murabahah
C.2. Bai’ as-Salam dan Bai’ al-Istishna’

D. Sewa
D.1. Al-Ijarah
D.2. Al-Ijarah al-Muntahiya bit Tamlik

E. Jasa (Fee-based Service)
E.1. Al-Wakalah (Deputyship)
E.2. Al-Hawalah (Transfer service)
E.3. Ar-Rahn (Mortgage)
E.4. Al-Qardh
E.5. Al-Kafalah (Guaranty)

F. Produk-produk Islamic Banking (iB) di Indonesia



A. Titipan atau Simpanan (al-Wadi’ah)

Al-Wadi’ah adalah titipan atau simpanan, yaitu titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Akad wadi’ah terbagi 2 yaitu : wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad ad-dhamanah.

A.1. Wadi’ah yad al-amanah (tangan amanah)

Pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan harta yang dititipkan akan tetapi dapat membebankan biaya kepada pihak yang menitip sebagai biaya penitipan. Dan dalam wadi’ah yad al-amanah penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada harta titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan akan tetapi disebabkan karena faktor-faktor yang berada di luar batas kemampuan pihak yang menerima titipan. Bentuk dari akad ini di perbankan adalah kotak simpanan (safe deposit box).

A.2. Wadi’ah yad ad-dhamanah (tangan penanggung)

Penerima titipan dapat mempergunakan harta tersebut dalam aktivitas perekonomian tertentu dengan izin dari pemberi titipan dengan syarat ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh dan ia bertanggungjawab atas segala kehilangan / kerusakan yang terjadi pada harta tersebut. Dalam akad ini, semua keuntungan adalah hak penerima titipan dan semua kerugian adalah tanggungjawabnya pula.
Dalam perbankan, wadi’ah diwujudkan dalam bentuk giro atau tabungan. Sebagai imbalan, orang yang menitipkan hartanya mendapatkan jaminan keamanan terhadap hartanya dan dalam perbankan ia juga dapat menikmati fasilitas lainnya dari bank yang bersangkutan. Dan juga bank sebagai pemanfaat harta tidak dilarang untuk memberikan bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan tidak ditetapkan nominal maupun persentasenya, tetapi benar-benar merupakan kebijakan dari pihak bank.


B. Bagi Hasil


B.1. Al-Musyarakah

Musyarakah berasal dari kata al-syirkah yang berarti al–ikhtilath (pencampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Sedangkan menurut istilah adalah akad persekutuan dalam hal modal, keuntungan dan tasharruf (pengelolaan). Jadi dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Al-Musyarakah dikenal juga dengan istilah Partnership, Project Financing Participation
Prinsip dan syarat syirkah :
1. Masing-masing pihak yang berserikat berwenang melakukan tindakan hukum atas nama perserikatan dengan izin pihak lain. Segala akibat dari tindakan tersebut, baik hasil maupun resikonya ditanggung bersama.
2. Sistem pembagian keuntungan harus ditetapkan secara jelas persentase dan periodenya.
3. Sebelum dilakukan pembagian, seluruh keuntungan merupakan keuntungan bersama.
Sedangkan persyaratan untuk modal yaitu :
- Harus diserahkan dan berbentuk tunai, tidak boleh berupa piutang atau jaminan.
- Harus berupa alat tukar seperti dinar, dirham, dan mata uang lainnya. Tidak boleh berupa barang dagangan atau komoditas.

B.2. Al-Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Secara istilah Al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan.
Persyaratan mudharabah :
1. Masing-masing pihak memenuhi persyaratan mukallaf (cakap).
2. Modal harus jelas jumlahnya, berupa alat tukar, tidak berupa barang dagangan dan harus tunai, dan diserahkan seluruhnya kepada pihak pengusaha.
3. Persentase keuntungan dan periode pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas berdasarkan kesepakatan bersama. Sebelum dilakukan pembagian, seluruh keuntungan menjadi milik bersama.
4. Pengusaha berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa campur tangan pihak pemodal. Pada awal transaksi pihak pemodal berhak menetapkan garis-garis besar kebijakan pengelolaan modal.
5. Kerugian atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemodal. Sedangkan pihak pengelola samasekali tidak menanggungnya, melainkan ia menanggung kerugian pekerjaannya.
Sedangkan mudharabah sendiri terbagi menjadi dua macam berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan dana yaitu :
1. Mudharabah Mutlaqah
Dikenal dengan istilah URIA (Unrestricted Investment Account). Dalam mudharabah mutlaqah tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Nasabah tidak memberikan persyaratan apapun kepada bank mengenai industri ataupun nasabah tertentu yang ingin dibiayai. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dana ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan. Dari akad jenis dikembangkan produk tabungan dan deposito.
2. Mudharabah Muqayyadah
Ada dua jenis mudharabah muqayyadah yaitu :
a) Yang dikenal dengan RIA (Unrestricted Investment Account). Mudharabah jenis ini merupakan dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank misalnya disyaratkan digunakan untuk syarat tertentu atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu (mudharabah muqayyadah on balance sheet).
b) Yang dikenal dengan mudharabah muqayyadah of balance sheet, mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pemilik usaha.

B.3. Al-Muzara’ah

Secara bahasa berarti melemparkan tanaman dan makna hakikinya adalah modal. Sedangkan secara istilah Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen
Syarat-syarat Muzara’ah :
1. Kedua orang yang berakad harus berakal.
2. Ditentukan macam tanaman apa saja yang akan ditanam.
3. Perolehan hasil ditentukan persentasenya ketika akad dan pembagiannya diambil dari satu jenis barang yang sama.
4. Tanah harus tanah yang dapat ditanami dan diketahui batas-batasnya.
5. Waktunya ditentukan sebanyak waktu yang memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud
6. Alat-alat yang digunakan dibebankan kepada pemilik tanah.

B.4. Al-Musaqah

Musaqah diambil dari kata al-saqa yaitu seseorang mengurus pohon anggur supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu sebagai imbalan. Secara istilah musaqah adalah akad untuk pemeliharaan pohon, tanaman, dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu. Jadi disimpulkan bahwa musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen
Menurut Hanabilah al-Musaqah mencakup dua masalah yaitu :
1. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami seperti pohon anggur, kurma, dan yang lainnya, baginya ada buah yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
2. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon yang belum ditanam, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya.

C. Jual Beli

C.1. Bai’ al-Murabahah

Adalah suatu penjualan barang seharga tersebut ditambah keuntungan yang disepakati dengan kata lain murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Keempat mazhab membolehkan Pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Dan tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan oleh penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna.


C.2. Bai’ as-Salam dan Bai’ al-Istishna’

Bai’ as-salam ialah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka dengan kata lain, as-salam adalah akad atas suatu barang dengan kriteria tertentu sebagai tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan pada majlis akad.
Bai’ al-Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.
Pada prinsipnya, akad al-istishna’ menyerupai akad as-salam dimana keduanya tergolong bai’ al-ma’dum, yaitu jual-beli barang yang belum wujud. Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut :
1. Obyek as-salam bersifat al-dain (tanggungan) sedangkan obyek istishna’ bersifat al-’ain (benda).
2. Menurut Hanafiyah, dalam akad salam dibatasi dengan waktu yang pasti, persyaratan ini tidak berlaku pada akad istishna’.
3. Menurut Hanafiyah, akad salam bersifat luzum (mengikat kedua pihak), sedang akad istishna’ tidak bersifat luzum. Sedangkan menurut jumhur akad salam dan istishna’ sama-sama bersifat luzum.
4. Menurut Hanafiyah harga pokok dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan dalam majelis akad, dan hal ini tidak diharuskan dalam akad istishna’ sedangkan menurut jumhur ulama harga pada kedua akad tersebut harus dibayar tunai ketika akad berlangsung.
Para imam dan tokoh-tokoh mazhab sepakat terhadap enam persyaratan akad salam berikut :
1. Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelas jenisnya.
2. Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelas sifat-sifatnya.
3. Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelas ukurannya.
4. Harus dinyatakan secara jelas batas waktunya.
5. Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelas harganya.
6. Tempat penyerahan harus dinyatakan secara jelas.

Sedangkan akad al-Istishna’ dibolehkan dengan syarat:
1. Obyek akad (produk yang dipesan) harus dinyatakan secara rinci jenis, ukuran, dan sifatnya.
2. Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau kerajinan yang mana masyarakat lazim memesannya.
3. Waktu pengadaan produk tidak di batasi. Jika dibatasi dengan waktu tenggang tertentu ia menjadi akad salam.

D. Sewa

D.1. Al-Ijarah

Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, sedangkan pada ijarah obyek transaksinya adalah barang maupun jasa.
Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa, jasa atau imbalan. Secara istilah, ijarah dapat didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional), ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini :
1. Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
2. Obyek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
3. Obyek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara’.
4. Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
5. Harta benda yang menjadi obyek ijarah harus harta benda yang bersifat isti’maliy yaitu harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya.
Adapun ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja, harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai persyaratan sebagai berikut :
1. Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan.
2. Pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak pekerja sebelum berlangsung akad ijarah.

D.2. Al-Ijarah al-Muntahiya bit Tamlik

Al-Ijarah al-Muntahiya bit Tamlik merupakan perpaduan antara sewa menyewa dan jual beli atau hibah diakhir masa sewa. Secara bahasa berarti sewa yang diakhiri dengan kepemilikan. Adapun pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut :
1. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhiir masa sewa pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Maka akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga barang dan margin laba. Sehingga penyewa harus membeli barang itu diakhir periode.
2. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar sehingga akumulasi sewa diakhir periode sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba. Dengan demikian barang tersebut dapat dihibahkan kepada penyewa.


E. Jasa (Fee-based Service)

E.1. Al-Wakalah (Deputyship)

Berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat sedangkan secara istilah dapat didefinisikan sebagai pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat diwakilkan. Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Status wakalah sempat diperdebatkan dalam perkembangan fiqih Islam apakah termasuk kategori niabah atau wilayah :
1. Niabah adalah mewakili menurut pendapat ini wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil (orang yang diwakili).
2. Wali atau wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang lebih baik, sebagaimana dalam hal jual beli pembayaran secara tunai adalah lebih baik, walaupun pembayaran secara kredit diperbolehkan.

E.2. Al-Hawalah (Transfer service)

Yaitu pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam kata lain yaitu pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ’alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang). Secara sederhana, dapat dijelaskan sebagai berikut : Si A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil) sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal ’alaih). Ketika B tidak mampu membayar hutangnya pada A, B lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C. Dengan demikian, C yang harus membayarkan hutang B kepada A, sedangkan hutang C sebelumnya pada B dianggap selesai.


E.3. Ar-Rahn (Mortgage)

Adalah menahan salah satu hak milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagai piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Setiap benda yang dapat diperjualbelikan sah pula dijadikan sebagai jaminan utang (marhun). Sedangkan akad rahn itu sendiri harus disertai penyerahan barang jaminan. Syafi’iyah dan Hanabilah juga mempertegas bahwa marhun harus berupa a’in (benda), tidak sah menjaminkan manfaat suatu benda. Harta benda yang digadaikan tidak tertutup dari orang yang menggadaikannya (rahin), ia berhak mendapatkan keuntungan dan kerugian dari benda tersebut. Dan biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab pemilik barang juga. Sedangkan pemanfaatan marhun oleh rahin ataupun murtahin harus dengan izin masing-masing pihak lawan. Oleh karena itu, menjaminkan barang yang tidak mengandung resiko dan biaya perawatan dan tidak menimbulkan manfaat agaknya lebih baik untuk menghindari perselisihan diantara kedua pihak.
Di bank, aplikasi rahn ada dua macam :
- Sebagai produk pelengkap : yaitu sebagai akad tambahan (jaminan) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah.
- Sebagai produk tersendiri : sebagai alternatif dari pegadaian konvensional yang mengenakan bunga, sedangkan biaya rahn ditetapkan di muka.

E.4. Al-Qardh

Adalah pemberian harta pada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Qardh dikategorikan kedalam akad saling membantu (tathawwu’i) dan bukan merupakan transaksi komersial (tijarah). Sehingga di dalam al-qardh samasekali tidak diperbolehkan untuk mengambil kelebihan apapun. Kecuali dari pihak peminjam mengembalikan dengan kelebihan dengan tanpa dipersyaratkan sebelumnya.

E.5. Al-Kafalah (Guaranty)

Adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (ditanggung), dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Jenis–jenis Kafalah :
1. Kafalah bin-nafs adalah akad memberi jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh dalam praktek perbankan adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yag dibiayai mengalami kesulitan
2. Kafalah bil-maal ialah jaminan pembiayaan barang atau pelunasan hutang.
3. Kafalah bit-taslim yaitu kafalah yang biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
4. Kafalah al-munjazah yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalm bentuk performance bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim dikalangan perbankan dan sudah sesuai dengan bentuk akad ini.
5. Kafalah mu’allaqah yaitu bentuk jaminan yang merupakan penyederhanaan dari kafalah al-Munjazah, baik oleh industri perbankan atau asuransi.
Bentuk produk kafalah di perbankan adalah garansi bank yang dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Untuk jasa-jasa ini, bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.

F. Produk-produk Islamic Banking (iB) di Indonesia.

Berikut ini kami tampilkan daftar produk-produk Islamic Banking (iB) di Indonesia yaitu berdasarkan data dari Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPBS BI) berikut dasar akad / skema keuangan yang dipergunakan.

NAMA PRODUK : SKEMA KEUANGAN
Funding / Pendanaan
Giro iB
- Giro USD iB : Wadi'ah (titipan)
- Giro IDR iB : Wadi'ah (titipan)
Tabungan iB
- Tabungan iB : Fleksibel : wadi'ah (titipan) atau mudharabah (penyertaan modal)
- Tabungan haji iB : Fleksibel : wadi'ah (titipan) atau mudharabah (penyertaan modal)
- Tabungan emas iB : Mudharabah (penyertaan modal)
- Tabungan pendidikan iB : Mudharabah (penyertaan modal)
- Tabungan perencanaan iB : Mudharabah (penyertaan modal)
- Tabungan arisan iB : Mudharabah (penyertaan modal)
- Tabungan umrah iB : Mudharabah (penyertaan modal)
Deposito iB
- Deposito IDR iB : Mudharabah (penyertaan modal)
- Deposito USD iB : Mudharabah (penyertaan modal)
- Deposito special investment : Mudharabah muqayyadah (penyertaan modal untuk proyek tertentu sesuai keinginan nasabah / investor)
Jasa iB (Service)
- Jasa kirim uang antar negara iB : Ijarah (sewa)
- Jasa bank garansi iB : Kafalah (penjaminan)
- Jasa SKBDN iB : Kafalah (penjaminan) dan wakalah (perwakilan)
- Jasa syariah card : Kafalah (penjaminan), qardh (pinjaman uang), dan wakalah (perwakilan)
- Jasa deposit box emas iB : Ijarah (sewa)
- Jasa pengalihan hutang iB : Qardh (pinjaman uang) dan bai' murabahah (jual beli dengan margin)
- Jasa penukaran uang iB : penukaran dua mata uang yang berbeda
- Jasa kirim uang iB : Wakalah (perwakilan)
- Jasa kiriman uang valas iB : Wakalah (perwakilan)
- Jasa bancassurance iB : Wakalah (perwakilan) dengan fee (biaya)
- Jasa L/C (letter of credit) ekspor iB : Wakalah (perwakilan) dengan fee (biaya), bai' (jual beli), dan kafalah (penjaminan)
- Jasa L/C (letter of credit) impor iB : Wakalah (perwakilan) dengan fee (biaya) dan kafalah (penjaminan)
- Gadai emas iB : Qardh (pinjaman uang) dan ijarah (sewa)
- Investasi emas iB : Wakalah (perwakilan)
Financing / Pembiayaan
Pembiayaan konsumtif (Konsumer) iB
- Pembiayaan multijasa iB (KTA iB) untuk pendidikan, pernikahan, kesehatan : Ijarah (sewa)
- Pembiayaan pemilikan rumah iB (KPR iB) : Fleksibel : bai' murabahah (jual beli dengan margin) atau bai' al istishna’ (jual beli dengan pesanan) atau ijarah muntahiya bit tamlik (sewa beli/leasing)
- Pembiayaan pemilikan mobil iB (KPM iB) : Fleksibel : bai' murabahah (jual beli dengan margin) atau ijarah muntahiya bit tamlik (sewa beli/leasing) atau ijarah (sewa)
- Pembiayaan kavling siap bangun iB : Bai' murabahah (jual beli dengan margin)
- Pembiayaan renovasi rumah : Fleksibel : bai' murabahah (jual beli dengan margin) atau bai' al-istishna’ (jual beli dengan pesanan)
- Pembiayaan konsumtif iB : Bai' murabahah (jual beli dengan margin)
- Kartu kredit iB : Kafalah (penjaminan), qardh (pinjaman uang), ijarah (sewa), dan wakalah (perwakilan)
Pembiayaan modal kerja dan korporasi iB
- Pembiayaan dana berputar iB : Musyarakah (kemitraan)
- Pembiayaan menengah dan korporasi iB : Fleksibel : musyarakah (kemitraan) atau mudharabah (penyertaan modal)
- Pembiayaan mikro dan kecil : Fleksibel : musyarakah (kemitraan) atau mudharabah (penyertaan modal)
- Pembiayaan rekening Koran iB : Musyarakah (kemitraan)
- Pembiayaan sindikasi iB : Musyarakah (kemitraan)
- Pembiayaan modal kerja iB : Fleksibel : musyarakah (kemitraan) atau mudharabah (penyertaan modal)
- Pembiayaan channeling iB : Fleksibel : mudharabah (penyertaan modal) untuk proyek tertentu sesuai keinginan nasabah atau ijarah muntahiya bit tamlik (sewa beli/leasing)
- Pembiayaan executing iB : Mudharabah (penyertaan modal) untuk proyek tertentu
- Pembiayaan sewa equipment iB : Ijarah muntahiya bit tamlik (sewa beli/leasing)
- Pembiayaan ke sektor pertanian iB : Bai' as-salam atau al-istishna’ (jual beli dengan pesanan) secara paralel
- Pembiayaan pembangunan perumahan iB : Bai' as-salam atau al-istishna’ (jual beli dengan pesanan) secara paralel
Lain-lain iB
- Pembiayaan dana talangan iB : Qardh (pinjaman uang)

Sumber:
1) Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah : dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press. 2001.
2) Jurnal Islamic Banking News : Edisi Khusus Festival Ekonomi Syariah 2009. Jakarta : Penerbit majalah InfoBank. 2009.
3) Karim, Adiwarman A, Ir. SE. MBA. MAEP., Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan (Edisi Ketiga). Jakarta : PT RajaGrafindo. 2004.
4) Mas’adi, Ghufron A., Drs. M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2002.
5) Suhendi, Hendi, Dr. H. M.Si., Fiqh Muamalah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2005.

Apakah Bank Syariah Sudah Cukup Syariah?

Berawal dari diskusi di grup FB Keluarga Besar Rohis STM Pembangunan Jakarta (alhamdulillah masih bisa dianggep anggota :-D) di akhir Oktober 2011

Ahmad Hairul Bahri Bismillahirrohmanirrohim Assalamu'alaykum wa rohmatullahi wa barokatuh Seperti biasa, insyaAllah utk yg kedua kalinya saya ingin bertanya. Agar tidak ada syubhat di antara. Tema : Bank Syari'ah, Syar'I kah? Pada dasarnya setiap bank yg ada di Indonesia akan bermuara ke BI. Perputaran uangnya pun dalam lingkup BI juga. Hanya saja, ada perbedaan yg mendasar antara bank konvensional dgn bank syari'ah, diantaranya yg utama, yaitu : aqad (perjanjian awal) dan pengelolaan uang nasabah. Jauh dari bahasan mendetail perihal perbandingan bank konvensional dg bank syari'ah tentunya sudah ada bahasan tersendiri. Nah, secara pribadi (dengan ilmu dan informasi yg diketahui), Apakah Bank Syari'ah yg ada di Indonesia dapat dinilai sudah sesuai syari'ah Islam (Tanpa terkecuali)? Jelaskan argumentasi kalian yah! :D Wassalamu'alaykum wa rohmatullahi wa barokatuhSee more


Djayusman Djayus
wah saya masih harus belajar banyak tentang ekonomi syari'ah,antum punya teman yg menguasainya biar ane bisa belajar dari beliau? yang jelas Pak Rhenald Kasali dlm salah satu tulisannya memblack list sistem ekonomi kapitalis


Agung Nugroho alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh menilai sesuatu tanpa pemahaman thd ilmu yg relevan kan kurang baik. yg jelas perbankan syariah dan sistem ekonomi syariah lainnya sedang dlm proses pertumbuhan. dan kita wajib mendukungnya (ada fatwa MUI) minimal menjadi nasabah, atau belajar dan terjun langsung sbg praktisi.
ada kok temen kita yg lumayan paham ttg topik ini, tp orgnya blm gabung ke grup ini. apa perlu diundang kesini nih?


Ahmad Hairul Bahri Sebelumnya secara pribadi TS faqir dalam hal seperti ini. Oleh karenanya TS bertanya. Adapun tema yg disampaikan TS adalah sesuatu yg sudah dibahas oleh beberapa pakar/ ahli. Yg jadi pertanyaan ialah apakah hal tersebut riil? Buktinya apa (contoh kasus)? Oleh karenanya butuh argumen (bisa jadi diskusi yg menarik) dari orang yg mengerti atau paling tidak sudah tahu mengenai informasi ini. Perihal wajibnya mendukung bank2 syari'ah, tentunya memang harus kita dukung segala kebaikan sekecil apapun bentuknya. Namun, bukan berarti menafikan kekurangan atau koreksi apabila diperlukan. :) Ust. Djayus, jangan lupa di invite ke sini temannya. Biar kita semua pada tahu.


Djayusman Djayus wah yg tahu khan akh Agung Nugroho coba tanya beliau


Asa Mulchias Setahu ane, bila sudah ada lajnah yang menaungi umat dan menetapkan hukum atas sesuatu, maka umat tidak perlu menyelidiki sampai detil-detil hingga mempersulit dirinya sendiri. Misalnya, ada fatwa dari MUI mengenai hukum kopi luwak. Kalau kita pikir, proses menjadi kopi luwak itu cukup membuat kita berpikir: apa itu halal? Namun, bila ada ketetapan itu halal dari lembaga yang benar-benar mendalami kasusnya, maka kita merujuk padanya. Kadang, kita mempermasalahkan lajnah secara sosoknya, padahal fatwa itu keluar tentu kita nilai per fatwa, bagaimana penetapannya dan segala halnya. Ada banyak persoalan halal-haram di negara kita dan tidak setiap orang memiliki kafaah untuk membahasnya. Karenanya kita tidak mempersulit umat dengan melemparkan persoalan-persoalan yang memang bukan konsumsi umat secara umum. Hal ini tentu dapat dikecualikan ketika ada satu orang yang benar-benar mengerti persoalan, dan mulai menggali secara profesional. Terkait pertanyaan TS, ada contoh-contoh kecil yang akan membuat kita pusing: apakah itu halal atau tidak--dan coba deh, komparasikan. Kasus makan ayam. Apakah kita tahu ayamnya dipotong dengan lafadz Allah atau tidak? Kasus makan mie. Apakah kita tahu betul mie itu tidak dibuat dengan minyak babi? Dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam Islam, kita tidak diperintahkan menggali-gali sesuatu yang kita sendiri tidak benar-benar "aware" mengenainya. Ini berguna dalam menghindari waswas syaithan dan memantapkan pilihan. Seperti sebuah riwayat yang menceritakan bahwa ‘Umar r.a. pada suatu hari lewat di sebuah tempat, kebetulan ia ditimpa sesuatu yang jatuh dari sebuah bumbung. Seorang teman yang bersama ‘Umar menanyakan: “Hai empunya bumbung apakah airmu suci atau najis?” ‘Umar pun berkata: “Hai empunya bumbung, tak usah dijawab pertanyaan itu,” dan ia pun berlalu. Wallahu'alam


Ahmad Hairul Bahri ‎-case closed-


Abinya Awa Azzahra akur ama bang asa. prkara halal haram sdh ada MUI jdi kta sbgai ummat cukup merujuk pada fatwa2 MUI


Ahmad Hairul Bahri Alhamdulillah, ane juga ikut merujuk MUI. Makanya ane bisa isi bensin PREMIUM, karena ane karyawan swasta. :D



Berhubung inisiator diskusi sudah menyatakan "case closed" waktu saya lihat posting ini, jadi ketinggalan momen deh utk ikutan diskusi. Tapi, pembahasannya jadi inspirasi juga utk bikin posting ini karena ternyata bolak balik ketemu juga sama teman2 muslim yg ragu utk berinteraksi dgn bank syariah karena isu ini.

Singkatnya begini..

pilihan yang tersedia untuk keuangan pribadi kita saat ini hanya:
1. pakai fasilitas perbankan konvensional yg sudah jelas mendukung berkembangnya sistem keuangan berbasis riba dan sudah disepakati keharamannya 100%
2. benar2 meninggalkan riba dgn tidak menggunakan uang kertas (fiat money) dan benar2 keluar dari sistem keuangan makro dengan konsekuensi bahwa kita hanya dapat bertransaksi hanya dengan sebagian kecil orang yang memilih pilihan ini
3. "being realistic" dengan menerima pilihan untuk menggunakan fasilitas perbankan syariah yang diawasi otoritas lembaga ulama dan bank sentral walaupun belum 100% syariah.. optimis serta mendukung para praktisi perbankan syariah khususnya dan praktisi ekonomi syariah umumnya akan terus berusaha setahap demi setahap untuk mewujudkan sistem ekonomi (dan produk keuangan syariah) yang benar2 syariah

Teringat dengan suatu hadits yang berbunyi:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya.” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah). 


Jadi, entahlah.. untuk benar2 bebas dari riba, mungkin kita harus bikin negara sendiri, produksi kebutuhan sendiri, intinya hidup terpencil bersama orang2 yang setekad dengan kita. Tapi apa iya harus serepot itu? Dan dengan hidup terpencil kita juga menghilangkan kemungkinan untuk menyebarkan dakwah Islam lebih luas lagi.
Seberapa jauh kita bisa meninggalkan riba, sangat tergantung pada kebutuhan dan kondisi kita masing2, tidak bisa menyamakan kondisi semua orang karena fikih pada dasarnya sangat tergantung pada konteks dimana hukum fikih itu ditetapkan.


Silakan, pilihan ada di tangan anda masing2, cari ilmu ttg prinsip2 halal haram dlm kehidupan ekonomi (Aku Cinta Keuangan Syariah) dan kemudian tanyalah hati anda untuk mengusahakan menjauhi riba sesuai kemampuan anda.

Yang punya waktu dan ingin lebih dalam membaca ttg isu syariahnya bank syariah, berikut adalah ringkasan bedah buku "tidak syar'inya bank syariah" yang pernah diadakan oleh MES.


Pengantar acara:




Peran Perbankan Syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi perkembangan ekonomi syariah. Lahirnya perbankan syariah juga bukan hanya sebagai alternatif terhadap perkembangan perekonomian riba saat ini, melainkan hadir sebagai solusi dalam memberantas praktek ribawi perekonomian umat.


Namun, seiring dengan kemajuan tersebut, terdapat tinjauan kritis dan ketidakpercayaannya dari masyarakat terhadap praktik perbankan syariah di Indonesia. Salah satunya buku yang berjudul Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat karya Zaim Saidi. Dikatakan dalam buku ini bahwa Sistem perbankan Syariah bukanlah system yang bebas riba, meskipun tampaknya telah melepaskan diri dari bunga (interest), karena riba bukan sekedar bunga an sich, melainkan system perbankan itu sendiri secara keseluruhan.


Dengan demikian perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi yang cukup gencar dalam memahami akan praktik perbankan syariah yang telah berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satunya dengan membedah buku tersebut agar pemahaman masyarakat menjadi terbuka akan hakekat dari bank syariah.


Oleh karena itu,Masyarakat Ekonomi Syariah, IAEI, bekerjasama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan 7th Sharia Economics Research Day yang mengangkat tema Perbankan Syariah sebagai Kekuatan Utama Perbankan Indonesia dengan bentuk acara Bedah Buku:Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat


Keynote Speech:
Dr. Ir. Murasa Sarkaniputra
(Penulis buku " Ruqyah Syariah: Teori, Model, dan Sistem Ekonomi")


Presentasi Buku:
Zaim Saidi
(Penulis Buku "Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat")


Penanggap:
Dr. (HC) A. Riawan Amin
(Ketua Umum ASBISINDO)
Drs. Agustianto, MA
(Sekjend DPP IAEI)


Moderator:
Dr. Euis Amalia, MAg
(Pengurus Pusat MES)


Hari dan Tanggal : Sabtu, 6 November 2010
Pukul : 13.00 - 16.00 WIB
Tempat : Ruang Teater Fakultas Syariah dan Hukum Lt.2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jl.Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat)




Rangkuman pembahasan oleh anggota mailist MES.




From: Asep Bunyamin
To: ekonomi-syariah@yahoogroups.com


Dari Keempat Pembicara, semuanya sepakat bahwa System Ekonomi Kapitalis termasuk didalamnya transaksi Riba dalam Bank Konvensional dan Penggunaan Uang merupakan praktek yang bertentangan dengan ajaran islam. Hal tersebut merupakan hal mendasar dan menjadi tujuan bersama didalam menemukan solusi yang tepat untuk menerapkan praktek ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.


Perbedaan yang muncul dari pemaparan masing-masing adalah dalam menentukan solusi apa yang paling tepat, untuk meninggalkan ekonomi kapitalis dan beralih kepada ekonomi islam. Secara ringkas solusi yang ditawarkan oleh keempat pembicara tersebut adalah :


1. Pembicara pertama, sebagai akademisi menawarkan solusi agar bank syariah dalam penentuan margin keuntungan tidak lagi berdasarkan BI rate tapi berdasarkan perhitungan baru, dimana Bank Indonesia disamping mengeluarkan BI Rate untuk Bank Konvensional juga mengeluarkan BI margin Profit untuk menghitung margin profit di Bank Syariah. Atau dengan kata lain Perbankan Syariah di sejajarkan dengan Perbankan Konvensional.


2. Pembicara kedua sebagai penulis buku “Tidak syari’ah nya Bank Syariah” berpendapat bahwa Bank itu sendiri merupakan System Ekonomi Kapitalis, maka tidak ada ruang bagi bank untuk mentransformasikan dirinya menjadi lembaga keuangan. Dan Perbankan Syariah bukan merupakan bagian dari Ekonomi Islam. Ekonomi Islam di kembalikan kepada kondisi semula yaitu pasar dan alat tukar dikembalikan pada dinar dan dirham.


3. Pembicara ketiga, sebagai praktisi, menawarkan solusi yang lebih realistis yaitu menghilangkan bunga bank sebagai akar masalah. dan mengganti uang yang saat ini beredar tanpa memiliki nilai instrinsik dan menjadi komoditi baru dimana uang memiliki harga dan menggantinya dengan uang yang harganya ditentukan oleh barang komoditi.


4. Pembicara keempat, sebagai fuqaha, menawarkan solusi dengan berijtihad terhadap mana saja transaksi dan produk yang diperbolehkan dan mana saja transaksi atau produk yang harus dihindari.


Tentunya dalam rangka memberikan solusi untuk menghadapi kondisi saat ini, masing-masing pendapat tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Solusi yang ditawarkan oleh pembicara pertama merupakan solusi yang paling mudah diterapkan, maksudnya perbankan syariah sudah diadopsi dalam ekonomi Indonesia sehingga lebih mudah dalam penerapan BI Profit Margin tersebut, akan tetapi masih jauh tujuan utama yaitu mensyariahkan ekonomi yang lebih luas, khususnya di Indonesia.


Solusi yang ditawarkan oleh pembicara kedua, hanya berbicara pada tataran idealisme dan tidak serius dalam memberikan solusi saat ini. Dengan pembubaran bank syariah saat ini akan semakin jauhnya umat dari ekonomi islam yang didambakan. Dan kami cenderung menilai pembicara tidak serius dan tidak konsisten, tidak konsistennya pembicara dapat dibuktikan dengan masih digunakannya uang oleh pembicara padahal menurut pembicara, uang yang saat ini beredar adalah riba, artinya pembicara mengakui bahwa kondisi saat ini belum lah ideal untuk penerapan secara langsung dan perlu dilakukan secara bertahap.


Pembicara ketiga dan menurut saya merupakan solusi yang paling ideal untuk diterapkan saat ini, menawarkan solusi menghilangkan bunga dalam system perbankan dan mengganti uang saat ini dengan uang yang memiliki patokan nilai yang lebih jelas. Pembicara terakhir sebagai fuqaha menawarkan solusi dengan berijtihad terhadap mana saja transaksi yang diperbolehkan dan mana saja yang tidak dengan berprinsip pada kaidah-kaidah hukum isam yang bersumber pada Al quran, As Sunnah dan Ijtihad. Maka disini perlu adanya kehati-hatian yang sangat ekstra di dalam menentukan suatu ijtihad, misalnya dalam aspek maslahah, jangan sampai hanya karena adanya aspek maslahat yang sempit cakupannya tapi tidak mampu melihat kemudaratannya bagi masyarakat luas. Sehingga untuk memutuskan suatu ijtihad harus dapat meneliti dampak-dampak yang mungkin timbul bagi masyarakat luas.


Dari pemaparan tersebut maka saling menghargai bahkan saling mendukung terhadap solusi yang ditawarkan merupakan langkah yang tepat demi terwujudnya harapan bersama dalam menegakan ajaran islam secara kaffah.