Apakah Bank Syariah Sudah Cukup Syariah?

Berawal dari diskusi di grup FB Keluarga Besar Rohis STM Pembangunan Jakarta (alhamdulillah masih bisa dianggep anggota :-D) di akhir Oktober 2011

Ahmad Hairul Bahri Bismillahirrohmanirrohim Assalamu'alaykum wa rohmatullahi wa barokatuh Seperti biasa, insyaAllah utk yg kedua kalinya saya ingin bertanya. Agar tidak ada syubhat di antara. Tema : Bank Syari'ah, Syar'I kah? Pada dasarnya setiap bank yg ada di Indonesia akan bermuara ke BI. Perputaran uangnya pun dalam lingkup BI juga. Hanya saja, ada perbedaan yg mendasar antara bank konvensional dgn bank syari'ah, diantaranya yg utama, yaitu : aqad (perjanjian awal) dan pengelolaan uang nasabah. Jauh dari bahasan mendetail perihal perbandingan bank konvensional dg bank syari'ah tentunya sudah ada bahasan tersendiri. Nah, secara pribadi (dengan ilmu dan informasi yg diketahui), Apakah Bank Syari'ah yg ada di Indonesia dapat dinilai sudah sesuai syari'ah Islam (Tanpa terkecuali)? Jelaskan argumentasi kalian yah! :D Wassalamu'alaykum wa rohmatullahi wa barokatuhSee more


Djayusman Djayus
wah saya masih harus belajar banyak tentang ekonomi syari'ah,antum punya teman yg menguasainya biar ane bisa belajar dari beliau? yang jelas Pak Rhenald Kasali dlm salah satu tulisannya memblack list sistem ekonomi kapitalis


Agung Nugroho alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh menilai sesuatu tanpa pemahaman thd ilmu yg relevan kan kurang baik. yg jelas perbankan syariah dan sistem ekonomi syariah lainnya sedang dlm proses pertumbuhan. dan kita wajib mendukungnya (ada fatwa MUI) minimal menjadi nasabah, atau belajar dan terjun langsung sbg praktisi.
ada kok temen kita yg lumayan paham ttg topik ini, tp orgnya blm gabung ke grup ini. apa perlu diundang kesini nih?


Ahmad Hairul Bahri Sebelumnya secara pribadi TS faqir dalam hal seperti ini. Oleh karenanya TS bertanya. Adapun tema yg disampaikan TS adalah sesuatu yg sudah dibahas oleh beberapa pakar/ ahli. Yg jadi pertanyaan ialah apakah hal tersebut riil? Buktinya apa (contoh kasus)? Oleh karenanya butuh argumen (bisa jadi diskusi yg menarik) dari orang yg mengerti atau paling tidak sudah tahu mengenai informasi ini. Perihal wajibnya mendukung bank2 syari'ah, tentunya memang harus kita dukung segala kebaikan sekecil apapun bentuknya. Namun, bukan berarti menafikan kekurangan atau koreksi apabila diperlukan. :) Ust. Djayus, jangan lupa di invite ke sini temannya. Biar kita semua pada tahu.


Djayusman Djayus wah yg tahu khan akh Agung Nugroho coba tanya beliau


Asa Mulchias Setahu ane, bila sudah ada lajnah yang menaungi umat dan menetapkan hukum atas sesuatu, maka umat tidak perlu menyelidiki sampai detil-detil hingga mempersulit dirinya sendiri. Misalnya, ada fatwa dari MUI mengenai hukum kopi luwak. Kalau kita pikir, proses menjadi kopi luwak itu cukup membuat kita berpikir: apa itu halal? Namun, bila ada ketetapan itu halal dari lembaga yang benar-benar mendalami kasusnya, maka kita merujuk padanya. Kadang, kita mempermasalahkan lajnah secara sosoknya, padahal fatwa itu keluar tentu kita nilai per fatwa, bagaimana penetapannya dan segala halnya. Ada banyak persoalan halal-haram di negara kita dan tidak setiap orang memiliki kafaah untuk membahasnya. Karenanya kita tidak mempersulit umat dengan melemparkan persoalan-persoalan yang memang bukan konsumsi umat secara umum. Hal ini tentu dapat dikecualikan ketika ada satu orang yang benar-benar mengerti persoalan, dan mulai menggali secara profesional. Terkait pertanyaan TS, ada contoh-contoh kecil yang akan membuat kita pusing: apakah itu halal atau tidak--dan coba deh, komparasikan. Kasus makan ayam. Apakah kita tahu ayamnya dipotong dengan lafadz Allah atau tidak? Kasus makan mie. Apakah kita tahu betul mie itu tidak dibuat dengan minyak babi? Dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam Islam, kita tidak diperintahkan menggali-gali sesuatu yang kita sendiri tidak benar-benar "aware" mengenainya. Ini berguna dalam menghindari waswas syaithan dan memantapkan pilihan. Seperti sebuah riwayat yang menceritakan bahwa ‘Umar r.a. pada suatu hari lewat di sebuah tempat, kebetulan ia ditimpa sesuatu yang jatuh dari sebuah bumbung. Seorang teman yang bersama ‘Umar menanyakan: “Hai empunya bumbung apakah airmu suci atau najis?” ‘Umar pun berkata: “Hai empunya bumbung, tak usah dijawab pertanyaan itu,” dan ia pun berlalu. Wallahu'alam


Ahmad Hairul Bahri ‎-case closed-


Abinya Awa Azzahra akur ama bang asa. prkara halal haram sdh ada MUI jdi kta sbgai ummat cukup merujuk pada fatwa2 MUI


Ahmad Hairul Bahri Alhamdulillah, ane juga ikut merujuk MUI. Makanya ane bisa isi bensin PREMIUM, karena ane karyawan swasta. :D



Berhubung inisiator diskusi sudah menyatakan "case closed" waktu saya lihat posting ini, jadi ketinggalan momen deh utk ikutan diskusi. Tapi, pembahasannya jadi inspirasi juga utk bikin posting ini karena ternyata bolak balik ketemu juga sama teman2 muslim yg ragu utk berinteraksi dgn bank syariah karena isu ini.

Singkatnya begini..

pilihan yang tersedia untuk keuangan pribadi kita saat ini hanya:
1. pakai fasilitas perbankan konvensional yg sudah jelas mendukung berkembangnya sistem keuangan berbasis riba dan sudah disepakati keharamannya 100%
2. benar2 meninggalkan riba dgn tidak menggunakan uang kertas (fiat money) dan benar2 keluar dari sistem keuangan makro dengan konsekuensi bahwa kita hanya dapat bertransaksi hanya dengan sebagian kecil orang yang memilih pilihan ini
3. "being realistic" dengan menerima pilihan untuk menggunakan fasilitas perbankan syariah yang diawasi otoritas lembaga ulama dan bank sentral walaupun belum 100% syariah.. optimis serta mendukung para praktisi perbankan syariah khususnya dan praktisi ekonomi syariah umumnya akan terus berusaha setahap demi setahap untuk mewujudkan sistem ekonomi (dan produk keuangan syariah) yang benar2 syariah

Teringat dengan suatu hadits yang berbunyi:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya.” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah). 


Jadi, entahlah.. untuk benar2 bebas dari riba, mungkin kita harus bikin negara sendiri, produksi kebutuhan sendiri, intinya hidup terpencil bersama orang2 yang setekad dengan kita. Tapi apa iya harus serepot itu? Dan dengan hidup terpencil kita juga menghilangkan kemungkinan untuk menyebarkan dakwah Islam lebih luas lagi.
Seberapa jauh kita bisa meninggalkan riba, sangat tergantung pada kebutuhan dan kondisi kita masing2, tidak bisa menyamakan kondisi semua orang karena fikih pada dasarnya sangat tergantung pada konteks dimana hukum fikih itu ditetapkan.


Silakan, pilihan ada di tangan anda masing2, cari ilmu ttg prinsip2 halal haram dlm kehidupan ekonomi (Aku Cinta Keuangan Syariah) dan kemudian tanyalah hati anda untuk mengusahakan menjauhi riba sesuai kemampuan anda.

Yang punya waktu dan ingin lebih dalam membaca ttg isu syariahnya bank syariah, berikut adalah ringkasan bedah buku "tidak syar'inya bank syariah" yang pernah diadakan oleh MES.


Pengantar acara:




Peran Perbankan Syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi perkembangan ekonomi syariah. Lahirnya perbankan syariah juga bukan hanya sebagai alternatif terhadap perkembangan perekonomian riba saat ini, melainkan hadir sebagai solusi dalam memberantas praktek ribawi perekonomian umat.


Namun, seiring dengan kemajuan tersebut, terdapat tinjauan kritis dan ketidakpercayaannya dari masyarakat terhadap praktik perbankan syariah di Indonesia. Salah satunya buku yang berjudul Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat karya Zaim Saidi. Dikatakan dalam buku ini bahwa Sistem perbankan Syariah bukanlah system yang bebas riba, meskipun tampaknya telah melepaskan diri dari bunga (interest), karena riba bukan sekedar bunga an sich, melainkan system perbankan itu sendiri secara keseluruhan.


Dengan demikian perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi yang cukup gencar dalam memahami akan praktik perbankan syariah yang telah berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satunya dengan membedah buku tersebut agar pemahaman masyarakat menjadi terbuka akan hakekat dari bank syariah.


Oleh karena itu,Masyarakat Ekonomi Syariah, IAEI, bekerjasama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan 7th Sharia Economics Research Day yang mengangkat tema Perbankan Syariah sebagai Kekuatan Utama Perbankan Indonesia dengan bentuk acara Bedah Buku:Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat


Keynote Speech:
Dr. Ir. Murasa Sarkaniputra
(Penulis buku " Ruqyah Syariah: Teori, Model, dan Sistem Ekonomi")


Presentasi Buku:
Zaim Saidi
(Penulis Buku "Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat")


Penanggap:
Dr. (HC) A. Riawan Amin
(Ketua Umum ASBISINDO)
Drs. Agustianto, MA
(Sekjend DPP IAEI)


Moderator:
Dr. Euis Amalia, MAg
(Pengurus Pusat MES)


Hari dan Tanggal : Sabtu, 6 November 2010
Pukul : 13.00 - 16.00 WIB
Tempat : Ruang Teater Fakultas Syariah dan Hukum Lt.2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jl.Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat)




Rangkuman pembahasan oleh anggota mailist MES.




From: Asep Bunyamin
To: ekonomi-syariah@yahoogroups.com


Dari Keempat Pembicara, semuanya sepakat bahwa System Ekonomi Kapitalis termasuk didalamnya transaksi Riba dalam Bank Konvensional dan Penggunaan Uang merupakan praktek yang bertentangan dengan ajaran islam. Hal tersebut merupakan hal mendasar dan menjadi tujuan bersama didalam menemukan solusi yang tepat untuk menerapkan praktek ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.


Perbedaan yang muncul dari pemaparan masing-masing adalah dalam menentukan solusi apa yang paling tepat, untuk meninggalkan ekonomi kapitalis dan beralih kepada ekonomi islam. Secara ringkas solusi yang ditawarkan oleh keempat pembicara tersebut adalah :


1. Pembicara pertama, sebagai akademisi menawarkan solusi agar bank syariah dalam penentuan margin keuntungan tidak lagi berdasarkan BI rate tapi berdasarkan perhitungan baru, dimana Bank Indonesia disamping mengeluarkan BI Rate untuk Bank Konvensional juga mengeluarkan BI margin Profit untuk menghitung margin profit di Bank Syariah. Atau dengan kata lain Perbankan Syariah di sejajarkan dengan Perbankan Konvensional.


2. Pembicara kedua sebagai penulis buku “Tidak syari’ah nya Bank Syariah” berpendapat bahwa Bank itu sendiri merupakan System Ekonomi Kapitalis, maka tidak ada ruang bagi bank untuk mentransformasikan dirinya menjadi lembaga keuangan. Dan Perbankan Syariah bukan merupakan bagian dari Ekonomi Islam. Ekonomi Islam di kembalikan kepada kondisi semula yaitu pasar dan alat tukar dikembalikan pada dinar dan dirham.


3. Pembicara ketiga, sebagai praktisi, menawarkan solusi yang lebih realistis yaitu menghilangkan bunga bank sebagai akar masalah. dan mengganti uang yang saat ini beredar tanpa memiliki nilai instrinsik dan menjadi komoditi baru dimana uang memiliki harga dan menggantinya dengan uang yang harganya ditentukan oleh barang komoditi.


4. Pembicara keempat, sebagai fuqaha, menawarkan solusi dengan berijtihad terhadap mana saja transaksi dan produk yang diperbolehkan dan mana saja transaksi atau produk yang harus dihindari.


Tentunya dalam rangka memberikan solusi untuk menghadapi kondisi saat ini, masing-masing pendapat tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Solusi yang ditawarkan oleh pembicara pertama merupakan solusi yang paling mudah diterapkan, maksudnya perbankan syariah sudah diadopsi dalam ekonomi Indonesia sehingga lebih mudah dalam penerapan BI Profit Margin tersebut, akan tetapi masih jauh tujuan utama yaitu mensyariahkan ekonomi yang lebih luas, khususnya di Indonesia.


Solusi yang ditawarkan oleh pembicara kedua, hanya berbicara pada tataran idealisme dan tidak serius dalam memberikan solusi saat ini. Dengan pembubaran bank syariah saat ini akan semakin jauhnya umat dari ekonomi islam yang didambakan. Dan kami cenderung menilai pembicara tidak serius dan tidak konsisten, tidak konsistennya pembicara dapat dibuktikan dengan masih digunakannya uang oleh pembicara padahal menurut pembicara, uang yang saat ini beredar adalah riba, artinya pembicara mengakui bahwa kondisi saat ini belum lah ideal untuk penerapan secara langsung dan perlu dilakukan secara bertahap.


Pembicara ketiga dan menurut saya merupakan solusi yang paling ideal untuk diterapkan saat ini, menawarkan solusi menghilangkan bunga dalam system perbankan dan mengganti uang saat ini dengan uang yang memiliki patokan nilai yang lebih jelas. Pembicara terakhir sebagai fuqaha menawarkan solusi dengan berijtihad terhadap mana saja transaksi yang diperbolehkan dan mana saja yang tidak dengan berprinsip pada kaidah-kaidah hukum isam yang bersumber pada Al quran, As Sunnah dan Ijtihad. Maka disini perlu adanya kehati-hatian yang sangat ekstra di dalam menentukan suatu ijtihad, misalnya dalam aspek maslahah, jangan sampai hanya karena adanya aspek maslahat yang sempit cakupannya tapi tidak mampu melihat kemudaratannya bagi masyarakat luas. Sehingga untuk memutuskan suatu ijtihad harus dapat meneliti dampak-dampak yang mungkin timbul bagi masyarakat luas.


Dari pemaparan tersebut maka saling menghargai bahkan saling mendukung terhadap solusi yang ditawarkan merupakan langkah yang tepat demi terwujudnya harapan bersama dalam menegakan ajaran islam secara kaffah.

1 comment: