Hadits Orang Miskin VS Orang Kaya

"Aku berdiri di muka pintu surga tiba-tiba kudapatkan kebanyakan yang masuk surga adalah orang-orang fakir miskin sedangkan orang-orang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya..." (HR Bukhari dan Muslim)

Pertama kali, saya ingin menyatakan suatu "disclaimer" bahwa kata2 berikutnya yang akan disampaikan samasekali bukan tafsiran atas hadits ini karena saya sangat sadar bahwa saya tidak punya kapasitas dan kemampuan untuk menafsirkan hadits. Ini hanyalah pendapat dan feeling yang saya rasakan secara pribadi dari membacanya.

Hadits ini menarik sekali, karena menyampaikan fakta bahwa orang-orang miskin lebih dahulu masuk surga dibanding orang-orang kaya, tingkatannya shohih kelas pertama lagi: Bukhori dan Muslim, walaupun nomor haditsnya mesti dicek lagi ke kitab hadits shahih Bukhari dan Muslim.
Hadits ini juga mempunyai daya tarik yang berbeda untuk kedua jenis orang yang disebutkan: miskin dan kaya, meskipun sepintas tampaknya hanya akan membuat senang orang miskin. Kenyataannya, memang hadits ini sering digunakan untuk menghibur orang2 yang ekonominya sulit, ah maafkan istilah yg "to the point" ini, tpi memang kata2 yang digunakan dalam penerjemahan hadits ini sangat jelas: orang miskin VS orang kaya. Bahwa orang2 miskin tidak perlu berkecil hati dan iri dengan orang2 kaya karena walaupun kehidupan mereka sulit di dunia, di akhirat mereka akan masuk surga lebih dahulu dibanding dengan orang2 kaya.

Lalu, apakah ini berarti Islam menganjurkan para pemeluknya untuk jadi orang miskin? Check again pelajaran agama kita dulu di SD tentang 5 rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat, haji. 3 diantaranya butuh fasilitas utk bisa kita kerjakan, bahkan 2 diantaranya butuh harta yang banyak utk dpt kita kerjakan: zakat dan haji. Memang keduanya hanya diwajibkan bagi orang yg mampu sedangkan orang yang tidak mampu tidak wajib. Menurutku, ketidakwajiban itu terasa seperti keringanan, pengecualian, yang diberikan bagi orang2 miskin yang dimaklumi. Seperti tidak sudinya orang kaya (yang logikanya sehat) membeli raskin untuk konsumsi sehari2, saya secara pribadi juga tidak mau diberi "subsidi" yang diperuntukkan bagi orang yang kondisi ekonominya dibawah saya. Saya ingin diperlakukan seperti orang yang mempunyai kekuatan dan harga diri. Sehingga bagi saya zakat dan haji itu adalah wajib, harus dilaksanakan! Jika saya tidak mampu dari segi harta, maka wajib bagi saya untuk berusaha membuat diri mampu.
Itu baru yang disebut sebagai ibadah individu, belum lagi kewajiban kita terhadap sesama: manusia dan makhluk hidup lainnya, serta dunia tempat kita tinggal ini. Bisakah kita berbuat kebaikan bagi mereka tanpa harta? Mungkin bisa, tapi tentu tidak sebanyak yang dapat kita lakukan dengan harta (yang berlimpah).

Bagaimana hubungannya dengan hadits tersebut? Apakah dengannya men"discourage" kita untuk jadi orang kaya? Ah, cemen sekali kalau jadi mundur karena itu. Itu adalah tantangan bahwa untuk jadi orang kaya, kita harus punya ilmu yang sesuai juga agar dapat mempertanggungjawabkannya kelak di hadapan Sang Maha Kaya. Ibarat perusahaan beraset kecil dengan perusahaan beraset besar, tentu audit keuangan perusahaan beraset besar akan jauh lebih rumit dan dengannya memakan waktu lebih lama dibanding dengan perusahaan beraset kecil. Dan objek audit yang cerdas dan bersih tentunya tidak akan galau dan panik menghadapi audit dari manapun.
Kesimpulannya, jadilah orang Islam kaya yang tidak hanya pintar mencari harta tapi juga pintar mengelolanya sesuai dengan aturan Islam sehingga ketika diaudit di akhirat dapat mempertanggungjawabkannya dengan baik.

2 comments:

  1. I agree with you. Dari hadits di atas tidak dinyatakan bahwa orang kaya merugi. Dia cuma tertahan masuk surga karena kekayaannya harus diaudit tulu. Kalau ternyata kekayaannya penuh berkah karena digunakan untuk kepentingan agama, tentu dia juga akan masuk surga. Bisa jadi juga, tingkat surganya lebih mulia dari si miskin yang pilihan amalannya cenderung lebih terbatas... :)

    ReplyDelete